Rupiah melemah terhadap dolar AS, apa yang menjadi penyebabnya?

rupiah

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami tekanan signifikan hari ini. Dalam pembukaan perdagangan, dolar AS tercatat di posisi Rp 16.735. Ibrahim Assuaibi, Pengamat Ekonomi, Mata Uang, dan Komoditas, memproyeksikan pelemahan rupiah yang berpotensi mencapai level Rp 17.000 per dolar AS. Jika rupiah menembus level Rp 16.800, Ibrahim menyebut kemungkinan besar nilai tukar tersebut akan mencapai Rp 17.000 dalam Oktober ini.

Menurutnya, penguatan dolar AS saat ini dipengaruhi kombinasi faktor eksternal dan internal. Dari sisi eksternal, ketegangan geopolitik di Eropa semakin memanas setelah pidato Presiden AS Donald Trump di PBB yang mengimbau agar negara-negara Eropa berhenti membeli minyak Rusia.

Meski langkah konkret belum diumumkan Trump, retorika ini diyakini menambah risiko geopolitik di pasar global. Ibrahim memperkirakan potensi sanksi terhadap Rusia dapat mengganggu ekspor energi atau memicu tindakan balasan dari pihak Moskow. Selain itu, serangan pesawat nirawak Ukraina terhadap fasilitas energi Rusia, didukung oleh persenjataan dari NATO dan AS, telah menargetkan kilang minyak dan terminal ekspor untuk melemahkan pendapatan ekspor Rusia.

Dari sudut pandang internal, pelemahan rupiah turut dipicu oleh kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang dianggap kurang kondusif bagi pasar. Salah satu contohnya adalah penolakan terhadap program tax amnesty. Ibrahim menilai tax amnesty sangat dibutuhkan saat ini, terlebih mengingat keberhasilannya dalam pemerintahan sebelumnya di bawah Menteri Keuangan Sri Mulyani. Kala itu, pelaksanaan tax amnesty mendapat respons positif dari pasar dan mendorong penguatan nilai tukar rupiah. Di era kepemimpinan saat ini, rencana tax amnesty yang sempat diwacanakan justru dibatalkan oleh Purbaya dengan alasan adanya potensi praktik tidak transparan oleh pengusaha-pengusaha terkait.

Pernyataan ini dianggap negatif oleh pelaku pasar, sehingga memperburuk sentimen terhadap rupiah. Sementara itu, Lukman Leong, Pengamat Komoditas dan Mata Uang dari DCFX Futures, menyebut bahwa sejak awal tahun rupiah cukup kuat berkat intervensi Bank Indonesia (BI) serta kebijakan suku bunga. Namun, aksi pemangkasan suku bunga yang dilakukan BI belakangan ini mengejutkan investor dan memberi tekanan tambahan terhadap mata uang domestik.

Menurut Leong, pergantian Menteri Keuangan juga berdampak pada kebijakan fiskal yang lebih longgar serta berbagai stimulus ekonomi baru, yang berujung pada melemahnya nilai tukar rupiah. Revisi UU P2SK yang memberi mandat lebih luas kepada BI juga menimbulkan kekhawatiran akan independensi bank sentral, yang kini tak hanya fokus pada inflasi dan nilai tukar. Ia menilai kebijakan pemerintah untuk mendorong ekonomi berpotensi “mengorbankan” stabilitas rupiah.

Hal ini bisa menyebabkan lonjakan inflasi serta defisit anggaran yang lebih besar. Sementara BI telah berupaya melakukan intervensi di pasar untuk stabilitas nilai tukar, langkah tersebut dinilai memiliki konsekuensi berupa tergerusnya cadangan devisa. Leong menyoroti kebijakan pemerintah terkait alokasi anggaran, termasuk program makan bergizi gratis, yang dianggap terlalu besar dan dapat dialihkan untuk kebutuhan pembangunan lainnya.

Menurutnya, jika anggaran sebesar Rp 500 triliun setahun dihemat selama empat tahun, dana sebesar Rp 2.000 triliun dapat digunakan sebagai dana abadi untuk berbagai proyek strategis. Ia memproyeksikan pelemahan rupiah ke level Rp 17.000 sangat mungkin terjadi jika intervensi BI kurang agresif dalam mengendalikan tekanan pasar. Stabilitas nilai tukar tersebut bergantung pada sejauh mana langkah-langkah yang dilakukan oleh BI bisa mengatasi tantangan yang ada saat ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *